TERCATAT sebagai orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor di bidang musik, Dr. Kuei Pin Yeo, meraih kegemilangan di Amerika, Eropa dan Asia sebagai concert pianist. Alumni Manhattan School of Music ini memenangkan banyak kompetisi piano internasional, memperoleh penghargaan, dan beasiswa yang menunjang pendidikan dan karier musiknya. “The living legend pianist” dari Indonesia ini, namanya tercantum dalam buku ‘International Women’s Who’s Who’ dan ‘Asian Who’s Who Prominent Indonesian Chinese’.
Bagaimana masa kecil Ibu dan bagaimana bisa terhubung dengan musik?
Masa kecil saya mungkin sama dengan masa kecil anak-anak lainnya. Banyak bermain. Tapi selain itu saya suka nyanyi. Kadang saya juga menyaksikan ibu saya kalau beliau main piano di rumah. Ibu saya sedikit-sedikit juga bisa main piano. Kami punya piano kuno di rumah waktu itu, dan setiap hari saya tidak lepas dari suara piano. Jadi suara piano sudah menjadi menu sehari-hari saya, tapi ya cuma mendengarkan saja, sampai kira-kira usia lima tahunan, saya masih ingat betul ketika itu ibu menyuruh saya memainkan beberapa tuts. Saya tidak tahu persis bagaimana perasaan ibu waktu saya memainkan beberapa tuts, sampai beberapa hari kemudian saya dikenalkan dengan miss Susy, yang kemudian mengajari saya memainkan piano. Ibu saya setiap hari mengantar saya ke miss Susy untuk belajar piano. Saya belajar dengan beliau cukup lama, ada kira-kira lima atau enam tahunanlah. Beliau lulusan dari Belanda dan sangat telaten banget. Beliau itu guru pertama saya. Nah waktu beliau mau pindah, saya diserahkan ke pak Soetarno Soetikno untuk meneruskan belajar pianonya. Pak Soetarno Soetikno waktu itu mengajar di Yayasan Pendidikan Musik atau YPM. Jadilah saya belajar di YPM. Di situ saya banyak belajar bukan saja mengenai teknik, tapi juga pembawaan. Setelah lulus dari YPM saya masih les lagi. Nah waktu itu di Radio Republik Indonesia atau RRI ada Orkes Symphony Jakarta. Saya main disana. Kalau ada harpa, itu saya yang main di pianonya. Juga kalau ada solois, kan biasanya terbatas waktu latihannya dengan Orkes Symphony Jakarta, nah untuk persiapannya itu saya di sana menjadi sparing pianist
Anda orang Indonesia pertama yang belajar di Manhattan School of Music dan mendapatkan beasiswa. Bagaimana ceritanya?
Waktu itu di tahun terakhir saya di SMA saya mulai berpikir tentang bagaimana kelanjutan belajar piano saya. Kebetulan waktu itu ada tamu dari Amerika dan saya dikasih tahu untuk coba mendaftar di sekolah-sekolah di Amerika. Lalu saya bikin beberapa application form, dan saya diterimalah di Manhattan School of Music. Disitulah saya mengawali perjalanan panjang saya, mulai dari mendapatkan gelar Bachelor sampai Master of Music dalam seni pentas piano. Saya beruntung sekali karena waktu itu sekolah memberikan saya beasiswa penuh, mungkin karena saya orang pertama dari Indonesia yang diterima di Manhattan School of Music hehehe…Lalu saya juga mendapat beasiswa dari John D. Rockefeller 3rd Fund/Asia Cultural Council dan Helena Rubinstein Foundation untuk biaya hidup selama saya di Amerika disamping untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya, sampai saya memperoleh second Master dalam bidang pendidikan musik, dan Doctor of Musical Arts. Beasiswa John D. Rockefeller 3rd Fund/Asia Cultural Council dan Helena Rubinstein Foundation ini menarik sekali karena mereka memberikan bantuan-bantuan bagi artis-artis atau musisi yang setelah lulus kemudian kembali ke negara asalnya untuk berbakti kepada negaranya. Itulah kenapa saya tinggal cukup lama di Amerika sampai dapat gelar doktor.
Sejak kapan Anda kembali ke Indonesia dan mengapa memilih kembali ke negara sendiri padahal saat itu Anda memiliki peluang untuk berkarier di Amerika?
Ya… Sejak debut saya di Carnegie Recital Hall tahun 1978 dan banyak menang di berbagai kompetisi bergengsi, saya banyak tampil di Amerika Serikat, Eropa dan Asia. Peluang bagi saya untuk berkarier di luar negeri saat itu sangat memungkinkan dan terbuka lebar. Tapi sejak awal saya memang lebih memilih untuk berkarier dan mengembangkan musik klasik di negeri sendiri setelah lulus dari Manhattan School of Music. Tahun 1983 saya kembali ke Indonesia dan mendirikan Sekolah Musik Yayasan Musik Jakarta. Nah tahun ini adalah tahun yang ke – 40 Yayasan Musik Jakarta berdiri. Kami akan merayakannya dengan menggelar konser akbar tanggal 22 September ini di JIEXPO Convention Centre and Theatre. Tanpa sound system. Jadi ini full akustik. Nonton ya hehehe…
Selama di luar negeri Anda banyak memenangkan kompetisi piano bergengsi dan banyak mendapat pujian atas penampilan Anda. Bagaimana pandangan Anda terhadap kompetisi piano?
Memang ada yang setuju, ada juga yang tidak setuju dengan kompetisi piano. Tapi saya melihat sisi positifnya bahwa berpartisipasi dalam kompetisi piano dapat menjadi bagian integral dari proses belajar dan perkembangan siswa. Juga sangat berharga bagi guru dalam mengevaluasi kemajuan dan kebutuhan siswa ke depannya. Secara psikologis, anak-anak yang terlibat dalam kegiatan kompetitif misalnya, menunjukkan kegembiraan dan motivasi yang lebih besar daripada mereka yang terlibat dalam kegiatan non-kompetitif. Kompetisi piano yang sehat juga mengajarkan pelajaran hidup yang berharga, meningkatkan motivasi, dan mendorong kreativitas. Sejak kecil mereka diajarkan mengidentifikasi masalah, memperbaiki kekurangan, menetapkan kembali tujuan, dan belajar dari pengalaman mereka. Tidak ada cara yang lebih baik untuk mempelajari bagian mana dari teknik dan pemahaman siswa yang sudah mantap dan bagian mana yang perlu ditingkatkan, selain menempatkannya dalam persaingan dan penampilan yang menegangkan. Dengan persiapan yang tepat, siswa dapat menikmati pengalaman dan mendapatkan manfaat dari kompetisi. Jadi, terlepas menang atau kalah, kompetisi piano menurut saya memiliki nilai positif. Tapi kalau bisa jangan kebanyakan ikut kompetisi karena pelajaran-pelajaran lain bisa tertunda karena siswa harus melatih lagu-lagu untuk kompetisi itu terus menerus.
Kemenangan dalam kompetisi seringkali jadi jalan ke tangga popularitas. Anda setuju?
Kenyataannya begitu, meski popularitas seseorang tidak selalu ditentukan oleh kompetisi. Namun diakui atau tidak, bagi musisi ataupun artis muda, keberhasilan dalam sebuah kompetisi menandai momen yang menentukan dalam kariernya, terlepas apakah mereka memenangkan hadiah pertama atau tidak, dan keberhasilan tersebut dapat membuat perbedaan penting dalam kehidupannya. Tidak bisa dipungkiri pula, keberhasilan dalam kompetisi adalah cara bagi seorang artis untuk didengar dan membuat kehadirannya dikenal di dunia musik. Memperoleh pengakuan di sebuah kompetisi sering kali berujung pada kemudahan mendapatkan beasiswa, koneksi jaringan, dan bahkan karier. Dan yang pasti, para pemenang kompetisi papan atas biasanya dengan cepat direkrut ke perusahaan rekaman dan agensi manajemen. Kariernya dijalin dengan orkestra-orkestra terkemuka di seluruh dunia. Martha Argerich, Vladimir Ashkenazy misalnya, adalah contoh pianis besar pemenang kompetisi piano internasional. Tapi ada juga yang kalah kompetisi, tetapi tetap bersinar seperti Nikolai Petrov dan András Schiff
Jadi, menurut ibu bagaimana memaknai kemenangan dan kekalahan dalam sebuah kompetisi piano?
Sering kita dengar ‘menang bukanlah segalanya,’ meskipun hal itu bisa saja membuat seseorang meraih lebih banyak penghargaan di kemudian hari. Di sisi lain, kekalahan memiliki fungsi yang sama sekali berbeda, tetapi pada akhirnya saling melengkapi dalam perjalanan menuju kesuksesan yang sama. Dalam kompetisi musik hal ini sebuah keniscayaan. Meskipun kalah tentu mengecewakan dan bahkan mungkin memalukan pada saat itu, tapi kekalahan sebenarnya dapat membantu menjadi musisi yang lebih baik dalam jangka panjang. Kuncinya cuma satu, jangan pernah menyerah. Kenapa? Sering dikatakan bahwa seseorang belajar lebih banyak dari kekalahan daripada dari kemenangan. Dalam kompetisi musik, kekalahan dapat memperlihatkan kekurangan suatu penampilan, sehingga memungkinkan musisi memiliki kesadaran yang mereka butuhkan untuk memperbaikinya. Jadi, jika sekarang kalah, besok bisa saja menang.
Tapi setiap orang maunya selalu menang. Siap menang, tidak siap kalah. Bagaimana itu?
Nah ini yang bahaya. Hati-hati menyikapinya. Menang terus-menerus, terutama anak-anak di usia dini, dapat berkontribusi pada rasa superioritas yang salah. Kemenangan beruntun yang tak terputus, meskipun dianggap prestasi dan hal yang luar biasa, dapat membuat seseorang berpuas diri. Di sinilah kebiasaan buruk mulai muncul. Di sisi lain, dengan kekalahan kompetitif yang dialami, bakat dan kemampuan seseorang justru akan tumbuh lebih matang daripada yang dapat diciptakan oleh kemenangan tanpa henti.
Apa saran Anda untuk anak-anak muda yang akan mengikuti kompetisi piano?
Apa pun motivasi untuk mengikuti kompetisi, tidak diragukan lagi bahwa kompetisi menawarkan pengalaman belajar yang signifikan, terlepas dari apakah seseorang menang atau tidak. Dan tanpa pengalaman penting itu, kemajuan, perkembangan musikal, dan kedewasaan seseorang dalam bermusik tidak akan sama. Tentu saja tidak sedikit musisi muda yang bersedia menghadapi tekanan ini, juga tidak sedikit penonton yang ingin menyaksikan artis-artis muda beraksi di atas panggung, sehingga kompetisi piano tetap menjadi bagian integral dalam proses pendewasaan, sekaligus panggung yang telah mapan di kancah musik klasik internasional. Jadi, jika memiliki kemampuan untuk ikut kompetisi, ikutlah. Jangan takut. Tampilah sebaik-baiknya. Menang atau kalah sama-sama bonus yang akan mendewasakan kalian
Saat ini banyak anak-anak muda Indonesia yang belajar piano diluar negeri. Apa saran Ada untuk mereka?
Pertama, di luar negeri itu banyak konser. Jangan escape. Datang, saksikan dan dengarkan, karena kita bisa banyak belajar dari konser-konser itu. Nontonlah konser sebanyak mungkin. Seringlah bermain dengan alat musik lain agar punya pengalaman bagaimana rasanya berbagi dalam musik. Manfaat belajar musik di negara lain dapat berlangsung seumur hidup dan mengubah cara pandang terhadap musik yang kita pelajari. Tinggal di negara lain juga dapat membuka pintu untuk mengamati dan dipengaruhi oleh berbagai gaya pertunjukan, variasi komposisi musik, dan bahkan cara musik itu sendiri dipandang dan diapresiasi. Jadi, bisa belajar musik di luar negeri itu sebuah kemewahan. Jangan sia-siakan. Kedua, jadilah musisi. Jangan sekedar jadi pianis. Seorang musisi itu sudah selesai dengan persoalan-persoalan teknis. Musisi itu mengkhususkan diri dalam membawakan atau memproduksi musik. Sebagian besar tanggung jawabnya berkisar pada latihan untuk mengembangkan keterampilan dan meningkatkan mutu penampilan mereka, menerima pelatihan dari para ahli untuk memantau kemajuan dan mengidentifikasi kelemahan untuk ditingkatkan, berinteraksi dan terlibat dengan publik, tampil dalam pertunjukan, dan berpartisipasi dalam berbagai kompetisi, menjaga hubungan yang baik dengan penggemar sambil terus meningkatkan keterampilan dan merilis musik yang bagus.
Sebagai pianis, musisi, dan guru musik, bagaimana pendapat Anda tentang Steinway Piano dan pengalaman apa saja yang Anda dapatkan dengannya?
Pergumulan saya dengan Steinway Piano boleh dibilang cukup panjang, sejak saya belajar di Manhattan School of Music tahun 1978, baik di kampus maupun di concert hall. Buat saya Steinway piano itu sudah menjadi bagian dari hidup saya, dan memenuhi semua kebutuhan saya sebagai pianis. Bagi pianis, hal penting dari piano itu biasanya yang pertama adalah bagaimana respon piano ini terhadap jari kita. Untuk hal ini, respon Steinway bagus sekali. Kedua adalah warna suara. Steinway menyediakan kekayaan warna suara yang tak terbatas. Untuk kedua hal itu Steinway masih yang terbaik dari lainnya. Terimakasih kepada Steinway atas piano- pianonya yang luar biasa. Tidak ada piano yang bisa menyamai Steinway. (eds)